Selasa, 15 April 2008

OPINI: Jadilah Penulis Nakal

Oleh: Joni Ariadinata

Menulis adalah menciptakan sebuah medan tempur. Medan tempur yang asyik dan penuh kebebasan. Bebas, penuh imajinasi, dan kreatifitas. Medan tempur milik penulis, adalah medan yang hanya miliknya sendiri. Kekuasaannya mutlak, tunggal, tak bisa diganggu-gugat.

Ketika proses peperangan dikobarkan (dalam medan tempur itu), maka tak ada orang lain berhak campur tangan: tak ada teman, tak ada sahabat, tak ada saudara; ”apalagi musuh! Ketika penulis tengah menulis, maka semuanya harap minggir. Ia harus berkata: “Maaf coy! Ini dunia gue...”. Penulis adalah raja.

Alangkah berbahagianya penulis yang telah bebas. Alangkah enak menjadi raja. Dan setiap penulis tentu ingin menjadi raja. Tapi sebagaimana seorang raja, yang kemudian ia bisa menikmati segala macam kebebasan itu, maka ia harus memiliki banyak syarat. Di antara syarat yang paling sederhana (tapi juga susah lho, hehe...), adalah menguasai betul setiap persoalan yang ada di “wilayah kekuasaannya”.

Apakah wilayah kekuasaan yang harus dipahami seorang penulis yang ingin menjadi raja? Tentu, hal pertama adalah bahasa (beserta segala perangkat pengetahuan tentangnya), kemudian tema, kemudian teknik bagaimana tema itu dibahasakan, kemudian pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan tema yang ditulis, kemudian, kemudian... uuuuah! (banyak amat sih kemudiannya?)

Ada banyak penulis yang ingin bebas seperti raja tapi tetap tak bisa bebas karena terbentur oleh teknik misalnya, terbentur oleh rumitnya tema misalnya, terbentur oleh kurangnya pengetahuan tentang apa yang ditulis misalnya (mungkin karena penulis ini kurang menyukai membaca), terbentur oleh, terbentur oleh... uuuah (terbentur oleh apa lagi?).

Tapi baiklah, kita lupakan sejenak benturan-benturan yang membuat pusing itu. Kita bayangkan saja bahwa semua persyaratan untuk menjadi raja telah kita taklukkan, maka kita telah menjadi penulis yang bebas!

Setiap penulis memang harus berjuang untuk membuat dirinya bebas! Alangkah enaknya penulis yang bebas. O-la-la.

Maka lihatlah Putu Wijaya yang dengan seenaknya mempermainkan logika pembacanya dengan kisah-kisahnya yang spektakuler dan kadang-kadang di luar nalar biasa.

Maka lihatlah betapa enaknya menjadi Budi Darma yang seenaknya mempermainkan karakter-karakter tokoh dalam cerpennya menjadi karakter yang kadang menjengkelkan, membuat pusing, gregetan, sebel, atau bahkan lucu.

Maka lihatlah betapa enaknya Danarto mempermainkan bahasa sehingga dalam cerpennya kadang-kadang pembaca dibawa terombang-ambing seperti diseret tsunami atau dilemparkan dalam jurang 3000 meter!

Maka lihatlah betapa enaknya Iwan Simatupang mempermainkan akal pikiran pembacanya sehingga mereka serasa dibawa dalam teka-teki filsafat yang berputar-putar mirip labirin.

Maka lihatlah, alangkah enaknya... uuuah (nah lho, ternyata memang banyak enaknya.) Haha. Maka siapa yang tak ingin menjadi raja?

Oke, marilah kita lupakan dahulu segala rintangan yang menghadang; yang membuat pusing dan bisa mengendorkan semangat kita untuk menulis. Marilah sekarang kita berkelana untuk menikmati cerpen yang dipilih Annida kali ini. Sebuah cerpen “absurd” yang begitu bebas, yang ditulis sobat kita dari Aceh, Abdul Razak M.H. Pulo, dengan judul: Cahaya Hijau.

Lihat, betapa dengan enaknya Abdul Razak mempermainkan imajinasi pembacanya lewat tema yang nyaris secara logika biasa “tak masuk akal”. Ia menciptakan tokoh sebuah metafor dari penafsiran realitas yang ia wujudkan menjadi lambang-lambang yang hidup, yakni “cahaya hijau”, “mahluk coklat”, dan “orang-orang putih”. P

enggunaan metafor ini, memperluas kekayaan penafsiran pembacanya. Di tangan penulis, metafor-metafor yang dibentuk menjadi tokoh-tokoh yang seolah-olah hidup itu, menggiring ke arah persepsi tertentu dari tema yang digali.

Cerpen ini berbicara tentang Aceh. Tentang tiga kekuatan yang tarik menarik (yang hingga kini dirasakan oleh setiap penduduk Aceh), dimana ketiga kekuatan itu menghempaskan tokoh “aku” (atau orang-rang Aceh pada umumnya) pada keputusasan untuk memilih: manakah yang benar? Manakah yang jujur? Manakah yang betul-betul tulus?

Trauma kekerasan yang dialami bangsa Aceh memang teramat dahsyat. Perang, bencana, serta ratusan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadangkala bisa menimbulkan sikap pesimis.

Ditarik dari perspektif religius, cerpen ini juga menanyakan sesuatu yang mendasar tentang takdir: apakah sesungguhnya yang diinginkan Tuhan terhadap Aceh?

Abdul Razak dengan cerdik dan nakal mempermainkan simbol-simbol yang tepat untuk menyampaikan kegelisahannya--dengan keindahan yang tidak dikorbankan untuk tujuan tertentu. Kenakalannya tidak saja pada eksplorasi tema, akan tetapi juga didukung oleh bahasa; sehingga cerpen ini bisa dinikmati tanpa sedikitpun intervensi pengarang yang (biasanya) berwujud indoktrinasi terhadap mana yang “baik” dan mana yang “buruk”.

Kebebasan penulis untuk mempersilahkan pembacanya berpikir dan memutuskan, membuat cerpen ini memiliki daya tawar yang baik. Kelebihan-kelebihan inilah, yang saya kira, membuat cerpen ini layak buat dibaca kawan-kawan kita sebagai sebuah model dimana “kenakalan” serta “kebebasan” adalah hal terpenting dalam membuat sebuah cerpen yang baik.

Demikianlah, imajinasi yang luas tak terbatas telah ditawarkan Abdul Razak sebagai sebuah model, dimana eksplorasi sebuah cerita pendek bisa berwujud apa saja. Dengan “kebebasan” yang dimiliki Abdul Razak dalam menciptakan dunianya sendiri, dengan menciptakan tokoh-tokohnya yang tidak terikat dalam konvensi biasa, ia telah memberi contoh bahwa hakikat “logika cerita” sungguh-sungguh berbeda dengan logika biasa. Logika biasa akan memustahilkan bahwa “cahaya hijau” bisa menjadi makhluk hidup yang berpikir dan bertindak, memiliki nyawa serta kehendak; akan tetapi “logika cerita” bisa saja itu menjadi sah, dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pengarang adalah raja, bahkan dalam perspektif yang lebih ekstrim disebutkan bahwa pengarang adalah “tuhan-tuhan kecil” yang bebas menentukan dunianya. Ia bebas menciptakan tokoh (termasuk takdir dari tokoh-tokohnya), bebas menciptakan apa saja yang menyangkut dunia yang ia inginkan.

Tentu saja, kebebasan yang benar-benar bebas, harus ditunjang oleh berbagai perangkat yang harus ia kuasai. Karena tanpa itu, sebuah tulisan hanya akan terjebak pada kengawuran yang sia-sia. Sebab siapakah yang mau membaca tulisan ngawur kecuali mungkin, orang gila? Haha!

Selamat membaca. ***

Jakarta, Mei 2006 Naskah ini dimuat di Majalah Annida nomor 9 tahun XV, 15 Mei-15 Juni 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar